Hidup
terombang-ambing ditengah lautan yang di sertai badai dan petir yang
mendru-deru bukan perkara mudah bagi seorang Pixy. Di usianya yang masih
labil dan terhitung rentan dia dihadapkan pada suatu masalah yang tak
mudah.
Berbagai kesalahpahaman atas beberapa definisi yang ia simpulkan sendiri bermuara pada suatu kehancuran.
Pertama;
kesalahpahaman dalam mendefinisikan agama. Dia sama sekali tak mengenal
agama. Tak ada pijakan yang kuat baginya dalam mengarungi samudera
kehidupan. Tak ada norma yang secara jelas mengatur hidupnya.
Kedua;
kesalahpahaman dalam mendefinisikan hidup. Hidup bukan sekedar
menegakan kepala dan berlaku sesuka hati. Kehidupan tak akan kekal abadi
semua ada batasnya.
Ketiga;
kesalahpahaman dalam mendefinisikan cinta. Sebuah pemahaman tentang
cinta yang salah dan itu baru disadarinya kini, setelah semuanya hancur
berantakan.
Bagaimanakan Pixy menjalani dunianya?
(Ari Jaztiva)
Chapter 1
Good Bye Paris
MUSIM dingin sudah tiba menyelimuti kota Paris. Malam
itu, angin bertiup kencang sampai-sampai hampir menerbangkan kanvas
beserta cat-cat milik Pixy. Dia menarik napas dalam-dalam sambil menatap
lukisannya yang baru setengahnya diselesaikan itu. Padahal jam dinding
di kamar sudah menunjukan pukul 01.00 dini hari, sudah seharusnya dia
pergi tidur agar bisa mengumpulkan energi untuk esok hari. Namun rupanya
dia belum bisa tidur sebelum berhasil menyelesaikan lukisannya itu.
Kalau ia tidur dan menyelelesaikannya esok hari, mungkin ide-ide yang
ada dalam pikirannya bisa-bisa buyar. Lukisan itu akan Pixy berikan
pada guru musiknya Madam Jacqueline, besok dia ulang tahun, sebagai
muridnya setidaknya Pixy ingin memberikan sedikit kenang-kenagan
untuknya, ya walaupun hanya sebuah lukisan abstrak yang sederhana.
Untuk menjernihkan pikirannya, sesekali dia menyesap secangkir cappucino kesukaannya sambil memandang ke luar jendela. Butiran salju yang melayang-layang di luar sana sangat menarik perhatian. Dia
berjalan menghampiri jendela, berdiri di samping jendela untuk beberapa
saat sambil menarik napas dalam-dalam. Rasa dingin mulai menembus
sweter tebal yang dia kenakan.
“Mataku leleh sekali,” keluhnya kemudian.
“Ah, tidak aku tidak boleh tidur, aku harus menyelesaikan lukisan ini,” ucapnya mantap sambil menatap lukisannya dengan pasti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar